Clifford Geertz
WAWANCARA DENGAN CLIFFORD GEERTZ
(Talk (wawancara) by Ben Abel with Clifford
Geertz:
date: wawancara tgl. 14 Februari 1997, diambil dari 'apakabar')*
Tentang Pembunuhan Massal-65, "Yang bisa dipelajari, kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk. Usaha apa pun untuk mengurungnya ke kerangka apa pun yang ketat -- entah ideologi tinggi seperti dilakukan Suharto, atau nasionalisme seperti dilakukan oleh Sukarno, atau Partai Komunis, atau Negara Islam atau lainnya -- akan membawa ke bencana."PEMBUNUHAN MASSAL-65"
(part 1 ?)
KETERKAITAN
T: Ketika menyadari semakin dalamnya perpecahan akibat pemilu, bagaimana orang di tingkat lokal melihat perbedaan-perbedaan dan mengatasi akibatnya?
J: Segera sesudah pemilu selesai, banyak orang merasa takut bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Pemilu tidak menghasilkan stabilitas sebagaimana diharapkan oleh setiap orang. Orang kemudian berpikir tentang siapa yang nantinya akan berkuasa. Apakah tentara? PKI? Kelompok Islam? dsb. Waktu itu kekuatan mereka masih kurang lebih seimbang. Perselisihan antara kekuatan-kekuatan yang ada semakin tajam sampai menjelang tahun 1965. Rasa takut, marah, benci terungkap di mana-mana.
T: Jadi ketakutan yang muncul waktu itu bukan karena kuatir kalau PKI menjadi mayoritas tetapi karena perpecahan yang memang sudah ada dalam masyarakat?
J: Bagi sejumlah orang, terutama bagi santri atau orang Masyumi, ketakutannya memang kemudian menjadi ketakutan terhadap PKI. Tetapi pada mulanya tidak demikian. Ketakutan pada PKI muncul kemudian. Pada awal tahun 1960an PKI berkembang sangat pesat, terutama di Jawa. Jika ada pemilu lagi, banyak orang kuatir kalau PKI akan menang. Bahkan Sukarno pun takut pada PKI, karena tidak bisa mengendalikannya lagi. Demokrasi Terpimpin merupakan salah satu cara untuk mengontrol PKI.
T: Akhirnya pembunuhan massal terjadi pada tahun 1965. Bagaimana Anda memahami apa yang terjadi pada tahun 1965?
J: Saya kira kalian dapat mengambil 1965 sebagai ledakan dari konflik dan ketegangan. Tetapi sekurang-kurangnya sejak dua tahun sebelumnya, seperti yang saya dengar dari banyak orang, sudah terjadi banyak teror di tingkat lokal. Sudah terjadi banyak kekerasan, poster-poster, serangan antar-kelompok. Ketika Gerakan 30 September terjadi situasi tegang sudah siap meledak. Jadi tahun 1965 menjadi klimaks.
T: Menurut Anda, ledakan itu terjadi semata-mata akibat ketakutan yang sudah ada di antara macam-macam kelompok, atau di antara elite, atau kombinasi antara keduanya?
J: Saya kira akibat ketakutan yang mencekam massa rakyat. Di Jawa Timur, ketakutan sudah tersebar luas dalam masyarakat. Tentu saja ada ketakutan di kalangan elite juga. Hampir setiap orang terlibat. Banyak kerusuhan. Di desa terjadi "popular killing."
T: Dalam pembunuhan massal, menurut Anda, apakah yang terjadi pada waktu itu perkelahian antara dua kelompok yang kekuatannya seimbang, ataukah untuk sementara PKI mungkin berusaha melawan dan kemudian mereka menjadi korban?
J: Suasana pada waktu itu penuh ketakutan dan panik. Hampir di setiap tempat orang tidak tahu siapa yang akan menang. Meskipun akhirnya di mana-mana yang menang selalu pihak tentara. Pada waktu itu ada banyak orang dalam organisasi-organisasi aliran yang condong ke PKI. Tidak berarti bahwa mereka itu komunis.
Dalam pembunuhan massal tidak jelas siapa saja yang terlibat. Tahu-tahu orang saling membunuh. Itulah yang terjadi. Jika kalian mengamati masing-masing kejadian itu, sangat sulit untuk melihat bahwa mereka itu dikoordinir. Tentu saja mereka dihasut.
T: Di Jawa Tengah pembunuhan massal terjadi pada minggu ketiga bulan Oktober 1965, tiga minggu kemudian baru meluas ke Jawa Timur, dan bulan Desember baru terjadi di Bali. Pembunuhan besar-besaran hanya terjadi setelah kehadiran RPKAD di tempat-tempat itu.
J: Yang terjadi di Pare orang saling bunuh-bunuhan. Sangat mengerikan. Selama beberapa waktu tentara membiarkan. Baru kemudian mereka menghentikannya. Tetapi sejauh mana peranan tentara itu, saya tidak tahu.
T: Mengapa pembunuhan yang terjadi di Jawa Barat tidak meluas?
J: Mungkin karena perpecahan di sana tidak begitu tajam. Tetapi saya tidak tahu persis bagaimana keadaannya.
T: Bagaimana orang memilih sasaran pembantaian dan pembenaran apa yang mereka gunakan untuk menjelaskan tindakan mereka sebagai sesuatu yang dapat terjadi pada waktu itu?
J: Mereka memilih berdasarkan perbedaan latar belakang yang memang sudah ada. Ini tidak hanya terjadi dalam semalam. Di Pare perpecahan tajam sudah berkembang sekurang-kurangnya 5-6 tahun. Maka masing-masing pihak sudah tahu musuh mereka. Pembenaran utama yang mereka gunakan, seperti dikatakan kepada saya, "Jika saya tak membunuhnya maka dialah yang akan membunuh saya." Situasinya sangat kacau. Saya berbicara dengan banyak orang di sana. Kata mereka, pada waktu itu emosi orang sudah begitu tinggi dan mereka kalut. Seorang eks-Masyumi bercerita bahwa beberapa orang malahan membunuh teman sendiri. Jadi kebencian memang sudah ada di sana setelah revolusi, dan memuncak setelah tahun 1955.
T: Kami ingin minta penjelasan lagi mengenai bagaimana para pemimpin atau organisasi-organisasi di Indonesia berusaha mengatasi perpecahan yang dirasakan jelas sejak tahun 1955. Jika perpecahan itu bukan karena kegagalan mereka, di mana letak akar masalahnya. Selanjutnya, apa yang dapat kami pelajari dari periode itu?
J: Yang bisa dipelajari, kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk. Usaha apa pun untuk mengurungnya ke kerangka apa pun yang ketat -- entah ideologi tinggi seperti dilakukan Suharto, atau nasionalisme seperti dilakukan oleh Sukarno, atau Partai Komunis, atau Negara Islam atau lainnya -- akan membawa ke bencana. Karena Indonesia terdiri dari begitu banyak macam orang.
Yang mungkin didapat dari pengalaman Orde Lama dan juga Orde Baru, kalian dapat mempersatukan Indonesia dengan cara seperti yang digunakan Jepang. Macam-macam orang harus diterima, diakui dan dihargai. Yang harus dihargai bukan hanya perbedaan etnik, tetapi juga perbedaan kelas dan sejarah. Saya tidak mau berkotbah. Karena semuanya merupakan usaha. Demokrasi merupakan usaha, Pancasila merupakan usaha. Tetapi satu hal yang harus tidak dilakukan atau dikurangi sesedikit mungkin adalah usaha menyeragamkan. Setiap daerah punya kekhasannya sendiri-sendiri.
Tahun 1950an merupakan masa yang menjanjikan. Ada kreativitas di sana. Saya telah bicara tentang perkembangan politik lokal yang sangat mengesankan, perkembangan budaya yang luar biasa, dan daya hidup Indonesia pada tahun 1950an dan 1960an. Dan semua itu masih ada di sana sekarang, walau pun muncul dalam bentuk lain. Misalnya, bagaimana kelompok-kelompok seni di sekolah menampilkan semacam "politik kuasa." Jadi masih banyak vitalitas dan kemampuan yang ada di sana.
Bagaimana Pak Cliff mencoba memahami Indonesia? "Saya cenderung melihat segala sesuatu sebagai sekaligus hal politik dan budaya pada saat yang bersamaan. Banyak peristiwa politik di Indonesia yang sekaligus juga merupakan persoalan budaya. Ada kesatuan tak terpisahkan antara hal-hal politik, budaya, ekonomi, dsb." Tentang masa sekarang, "Banyak hal yang sekarang ini terjadi di luar apa yang direkayasa pemerintah pusat. Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di tingkat lokal, kita memerlukan semakin banyak orang yang melakukan penelitian lapangan."
(part 2 ?)
KETERKAITAN
T: Bagaimana Anda menjelaskan politik-kebudayaan-ideologi yang saling berhubungan itu dalam usaha "Membangun Bangsa"?
J: Dalam menganalisa suatu peristiwa saya tidak membuat pemilahan ke dalam faktor politik, kebudayaan, ideologi dsb. Saya cenderung melihat segala sesuatu sebagai sekaligus hal politik dan budaya pada saat yang bersamaan. Banyak peristiwa politik di Indonesia yang sekaligus juga merupakan persoalan budaya. Termasuk juga di sini masalah agama dan konflik antara sukubangsa. Ada kesatuan tak terpisahkan antara hal-hal politik, budaya, ekonomi dsb. Apa yang terjadi di Indonesia tidak bisa dipahami dari segi ekonomi saja.
Mengenai "Membangun Bangsa," saya kira istilah itu sekarang sudah menjadi semacam slogan yang memiliki banyak isi tentang apa itu Indonesia, apa itu proyek bangsa dan negara Indonesia dsb. Masalahnya tidak lagi bagaimana menjadikan Indonesia sebagai kesatuan yang berfungsi.
T: Pemberton mencoba menjelaskan bagaimana kebudayaan Jawa dipakai oleh pemerintah Orde Baru sebagai semacam politik kebudayaan untuk mengaburkan sifat-sifat otoriter dan kekerasannya. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?
J: Menurut saya penjelasan itu berat sebelah. Orde Lama dipisahkan secara tajam dari Orde Baru. Saya kira tidak begitu. Itu tidak salah, tetapi terlalu dangkal. Karena membuat politik kebudayaan begitu sederhana, membuat politik kebudayaan semata-mata sebagai alat. Seolah-olah pemerintah kolonial menyebabkan munculnya segala sesuatu di Indonesia dan kemudian itu dikembangkan selama Orde Baru. Seakan-akan kebudayaan politik Orde Baru hanyalah kebudayaan kolonial yang dihidupkan kembali. Ini penjelasan deterministik yang terlalu sederhana.
Penjelasan mengenai persoalan seperti ini tidak bisa diperoleh hanya berdasarkan semacam spekulasi abstrak. Untuk sampai pada kesimpulan yang memadai, kalian harus melakukan penelitian intensif, dalam periode yang lama, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Harus benar-benar kerja, tidak hanya sekedar menyusun cerita-cerita berdasarkan bahan yang sudah ada. Sayang, sekarang ini penelitian empiris di tingkat lokal sangat merosot. Memang ada kekecualian pada sejumlah sarjana Amerika. Karya-karya tentang Bali dan Solo sangat bagus.
T: Anda menyatakan bahwa sekarang ini ide-ide kreatif masih terus muncul. Di samping versi-versi yang diciptakan negara, ideologi besar, atau hal lain, apa lagi yang sungguh-sungguh berusaha melakukan penyeragaman atau memaksakan diri pada masyarakat Indonesia? Dan bagaimana ide-ide itu disebarkan?
J: Saya sendiri tidak tahu persis tentang apa yang terjadi sekarang. Baru-baru ini saya di Yogya. Saya melihat banyak macam sintesa antara Islam dan tradisi kecil Jawa yang masih berlangsung. Ini dapat dilihat di dalam lingkungan keagamaan, kebudayaan, sekolah-sekolah, dan aneka macam kelompok studi Javanologi. Masih terdapat banyak diskusi di sana. Ada juga ide-ide modern yang penting. Dalam pameran KIAS beberapa tahun yang lalu ada banyak ekspresi tentang apa yang terjadi sekarang. Kreativitas para pelukis dan penulis di Jakarta dan juga di tempat lain semakin berkembang. Saya kira orang tidak begitu saja menelan segala-sesuatu secara mentah-mentah. Mereka berpikir dan berdiskusi.
Dalam konteks religius, banyak kesempatan berdiskusi di kalangan Islam. Di dalam acara pengajian, yang tentu saja sangat sukar untuk dikontrol, orang dapat berbicara dan mengatakan apa yang ingin mereka katakan. Kesempatan semacam itu sekarang semakin banyak. Jadi banyak hal yang sekarang ini terjadi di luar apa yang direkayasa pemerintah pusat. Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di tingkat lokal, kita memerlukan semakin banyak orang yang melakukan penelitian lapangan. Saya menemukan adanya banyak kreativitas di sana. Tetapi saya sendiri tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi.
T: Sebagai akhir wawancara, kami ingin tahu pertanyaan-pertanyaan macam apakah yang sebaiknya kami ajukan kepada Anda?
J: Saya kira, sebaiknya kalian mengajukan pertanyaan tentang masalah-masalah budaya dalam masyarakat Indonesia. Tetapi saya telah banyak menulis tentang hal itu. Saya pikir tidak ada yang baru. Kalian dapat bertanya sekitar peristiwa yang terjadi pada tahun 1950an, waktu saya sendiri menjadi salah seorang pengamat di sana.
Sebetulnya saya sendiri ingin mengetahui lebih banyak tentang apa saja, termasuk masalah-masalah politik, yang akhir-akhir ini terjadi. Misalnya, saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di Situbondo secara lebih dalam. Tidak hanya apakah militer berdiri di balik peristiwa itu atau tidak. Mungkin militer memang berada di balik itu. Tetapi saya ingin tahu orang-orang yang terlibat di dalamnya, apa yang mereka lakukan, apa yang mereka katakan, pandangan-pandangan mereka sendiri tentang apa yang mereka lakukan dsb. Ketegangan hubungan antara orang Islam dan orang Kristen/Katolik tampaknya semakin hebat. Pada masa lalu tidak begitu. Sekarang tiba waktunya untuk melakukan apa yang telah kami lakukan pada tahun 1950an, untuk mengetahui apa yang berkembang dan bagaimana perkembangan itu berlangsung.
"WE GREW UP TOGETHER": Clifford Geertz's final remark
Usai mengedit transkripsi wawancara ini, Pak Cliff menyampaikan surat berikut untuk sekalian kita. Pesan yang hangat dari seorang begawan kesohor :
"I, too, much enjoyed the discussion we had. I am much less in touch with younger Indonesians, those whom I hope and trust will make their country's future, than I once was. It was good to sit around and "ngobrol" again. Whatever the value or validity of my views might or might not be, I hope I communicated my continuing deep concern for the welfare of Indonesia and of the Indonesian people. We "grew up together," myself and your country, and Indonesia is thus rather more than a mere object of knowledge for me.
The transcript, which I have read through, is very good, and I have only a very few minor comments. (Editting dia kami hilangkan).
That's it. You did a remarkably efficient and speedy job, and I wish I could still speak 'bahasa' as fluently as you make me sound, another reason I ought to go back to Indonesia for awhile.
Dengan segala hormat,
Clifford Geertz."
Wawancara dengan Clifford Geertz, in: Indonesia Daily News Online (www.indo-news.com), March 9, 1997
source: [INDONESIA-L] Wawancara dengan Clif (r):
mailto:apakabar@clark.net?Subject=Re:
[INDONESIA-L] Wawancara dengan Clif
(r)&In-Reply-To=<957822479.0000@hypermail.dummy
(*) This interview circulated in several parts on the Indonesia mailing-list. These parts put together by Ingo Moerth. It is not sure if the different parts are put together correctly.
Using this text is also subject to the general HyperGeertz-Copyright-regulations based on Austrian copyright-law (2001), which - in short - allow a personal, nonprofit & educational (all must apply) use of material stored in data bases, including a restricted redistribution of such material, if this is also for nonprofit purposes and restricted to a specific scientific community (both must apply), and if full and accurate attribution to the author, original source and date of publication, web location(s) or originating list(s) is given ("fair-use-restriction"). Any other use transgressing this restriction is subject to a direct agreement between a subsequent user and the holder of the original copyright(s) as indicated by the source(s). HyperGeertz@WorldCatalogue cannot be held responsible for any neglection of these regulations and will impose such a responsibility on any unlawful user.
Each copy of any part of a transmission of a HyperGeertz-Text must therefore contain this same copyright notice as it appears on the screen or printed page of such transmission, including any specific copyright notice as indicated above by the original copyright holder and/ or the previous online source(s).